Kesultanan Banten merupakan sebuah
kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526,
ketika Kerajaan Demak memperluas
pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan
kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin,
putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah
penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang
dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan
setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan
bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari
Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan
persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan,
serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan
Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada
tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol
kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya,
para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
- 1 Pembentukan awal
- 2 Puncak kejayaan
- 3 Perang saudara
- 4 Penurunan
- 5 Penghapusan kesultanan
- 6 Agama
- 7 Kependudukan
- 8 Perekonomian
- 9 Pemerintahan
- 10 Daftar penguasa Banten
- 11 Warisan sejarah
- 12 Rujukan
- 13 Perpustakaan
- 14 Pranala luar
De Stad Bantam, lukisan cukilan
lempeng logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin
ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran
dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal
dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan
Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513.
Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527,
yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten,
Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil
lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan
tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu
(Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris
oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah
meninggalnya Trenggana, Banten yang sebelumnya vazal
dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari
Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman
Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579.
Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad,
yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596
sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan
tersebut.
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia
menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan"
pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini
Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan
kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten
kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan
mengandalkan perdagangan dalam menopang
perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada
di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat,
menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara,
Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia,
India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa
(bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang
mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa
bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga
mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari
tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
Sekitar tahun 1680
muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan
pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji,
sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat
posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar
juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682
untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari
istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun
pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji
bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman
Sunda. Namun pada 14 Maret 1683
Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan
pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan
Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan
beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes
Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran
Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh
Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan
membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang
dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka,
puncaknya pada 28 Januari 1684,
pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta
pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti
dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC,
seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin,
Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten.
Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli
perdagangan lada di Lampung. Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian
akibat perang tersebut kepada VOC.
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai
mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para
Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda
di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan
Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh
saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian
dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan
ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa
Banten maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten,
atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak
pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya
perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan
Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan
rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.
Reruntuhan Kraton Sultan pada tahun 1859 (gambar oleh
C. Buddingh dari Geschiedenis van Nederlandsch Indië atau "Sejarah
Hindia Belanda")
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels,
Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan
Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk
memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk
membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai
jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran
Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana
Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian
diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels
mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten
telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813
oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti
dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles.
Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan
Banten.
Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat
Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha,
seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.
Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin,
melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga
mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai
menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan
Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten,
Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan para ulama
memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya
masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa
tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti
terlihat pada kesenian bela diri Debus.
Kadi memainkan peranan penting dalam
pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian
sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum
Islam seperti hudud.
Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan
baik. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu
diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673
telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan
Banten.
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah
penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari Jawa,
Sunda dan Melayu. Sementara kelompok etnis nusantara lain dengan jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.
Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun
1672, di Banten diperkirakan terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang
lelaki yang siap untuk berperang, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten
dapat direkrut sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari
sumber yang paling dapat diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673)
menyebutkan dari sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan
penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak
atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika keseluruhan
penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah
sekitar 150 000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat Cina
mencari suaka dan bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini akibat
berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Cina Selatan
lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai
dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan
masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten beberapa kelompok
masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun pemondokan
dan gudang di sekitar Ci Banten.
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman
pembukaan sawah mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada
waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak,
perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan,
sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng
karesian yang menceritakan adanya istilah pahuma
(peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap).
Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama
peralatanya seperti kujang, patik, baliung, kored
dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan
pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan
menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal
tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar
perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani
ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis
dan Makasar. Perkebunan tebu,
yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an,
dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat
signifikan.
Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678,
Banten telah menjadi kota metropolitan, dengan jumlah penduduk dan
kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di
dunia pada masa tersebut.
Bendera Kesultanan Banten, versi pelat Jepang tahun
1876.
Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri,
penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana
terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran Gusti,
dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan
Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih
serta Syahbandar
yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat
Banten terdapat kelompok bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu
atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan
istimewa adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja,
serta kaum jawara.
Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai
yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu.
Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar,
alun-alun dan Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit,
sementara disebelah utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten dengan
menara berbentuk mercusuar yang kemungkinan dahulunya
juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di
Banten.
Berdasarkan Sejarah Banten,
lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung Banten dan Ci Banten,
dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun
terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk
menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota
Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau
representasi yang dikenal dengan nama mandala. Selain itu pada kawasan kota
terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis
tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan Banten telah menerapkan cukai
atas kapal-kapal yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar
yang berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar
yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.
- Maulana Hasanuddin
atau Pangeran Sabakingkin 1552 - 1570
- Maulana Yusuf atau Pangeran Pasareyan 1570 - 1585
- Maulana Muhammad atau
Pangeran Sedangrana 1585 - 1596
- Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran
Ratu 1596 - 1647
- Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1647 - 1651
- Sultan Ageng Tirtayasa
atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah 1651-1682
- Sultan
Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul
Qahar 1683 - 1687
- Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya 1687 - 1690
- Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin 1690 - 1733
- Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin 1733 - 1747
- Ratu
Syarifah Fatimah 1747 - 1750
- Sultan Arif Zainul Asyiqin al-Qadiri 1753 - 1773
- Sultan Abul
Mafakhir Muhammad Aliuddin 1773 - 1799
- Sultan Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1799 - 1803
- Sultan Abul
Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin 1803 - 1808
- Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1809 - 1813
Setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah
Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten dijadikan keresidenan,
dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan
Banten menginspirasikan masyarakatnya untuk menjadikan kawasan Banten kembali
menjadi satu kawasan otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi
tersendiri yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.
Selain itu masyarakat Banten telah menjadi satu
kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah
ada pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan
masyarakat Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara.
1.
^ a b c Titik Pudjiastuti, (2007), Perang, dagang,
persahabatan: surat-surat Sultan Banten, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-650-8.
2.
^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam
Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-12-X.
3.
^ From Valentijn, Beschrijving van Groot Djava, ofte
Java Major, Amsterdam, 1796. Ludwig Bachhofer, India Antiqua
(1947:280) notes that Valentijn had been in Banten in 1694.
4.
^ Sejarah Cirebon, PT. Balai Pustaka.
5.
^ Titik Pudjiastuti, (2000), Sadjarah Banten:
suntingan teks dan terjemahan disertai tinjauan aksara dan amanat.
6.
^ Fernão Mendes Pinto, Rebecca Catz, (1989), The
travels of Mendes Pinto, University of Chicago Press, ISBN 0-226-66951-3.
7.
^ Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The
Sultanate of Banten, Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5.
8.
^ Keat Gin Ooi, (2004), Southeast Asia: a historical
encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor, Volume 1, ABC-CLIO, ISBN 1-57607-770-5.
9.
^ Heriyanti Ongkodharma Untoro, (2007), Kapitalisme
pribumi awal kesultanan Banten, 1522-1684: kajian arkeologi-ekonomi,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, ISBN 979-8184-85-8.
10. ^ Yoneo Ishii, (1998), The junk trade from Southeast
Asia: translations from the Tôsen fusetsu-gaki, 1674-1723, Institute of
Southeast Asian Studies, ISBN 981-230-022-8.
11. ^ Nana Supriatna, Sejarah, PT Grafindo Media
Pratama, ISBN 979-758-601-4.
12. ^ a b Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The
Sultanate of Banten, Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5.
13. ^ a b c d Atsushi Ota, (2006), Changes of regime and social
dynamics in West Java: society, state, and the outer world of Banten, 1750-1830,
BRILL, ISBN 90-04-15091-9.
14. ^ Azyumardi Azra, (2004), The origins of Islamic
reformism in Southeast Asia: networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern
'Ulamā' in the seventeenth and eighteenth centuries, University of Hawaii
Press, ISBN 0-8248-2848-8.
15. ^ Ann Kumar, (1976), Surapati: man and legend :
a study of three Babad traditions, Brill Archive, ISBN 90-04-04364-0.
16. ^ Amir Hendarsah, Cerita Kerajaan Nusantara,
Great! Publisher, ISBN 602-8696-14-5.
17. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto,
(1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-409-8
18. ^ Atsushi Ota, Banten Rebellion, 1750-1752: Factors
behind the Mass Participation, Modern Asian Studies (2003), 37: 613-651,
DOI: 10.1017/S0026749X03003044.
19. ^ Ekspedisi Anjer-Panaroekan, Laporan Jurnalistik
Kompas. Penerbit Buku Kompas, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta Indonesia.
2008 November. hlm. 1–2. ISBN 978-979-709-391-4.
20. ^ Sartono Kartodirdjo, (1966), The peasants' revolt
of Banten in 1888: Its conditions, course and sequel. A case study of social
movements in Indonesia, Martinus Nijhoff.
21. ^ R. B. Cribb, A. Kahin, (2004), Historical
dictionary of Indonesia, Scarecrow Press, ISBN 0-8108-4935-6.
22. ^ Euis Nurlaelawati, (2010), Modernization,
tradition and identity: the Kompilasi hukum Islam and legal practice in the
Indonesian religious courts, Amsterdam University Press, ISBN 90-8964-088-6.
23. ^ a b Claude Guillot, Banten in 1678, Indonesia,
Volume 57 (1994), 89-114.
- Hussein Jayadiningrat,
Critische Beschouwing van de Sadjarah-Banten, Disertasi Doktor, 3 Mei 1913, Universitas Leiden.
- Guillot,
Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, Banten avant l'Islam - Etude
archéologique de Banten Girang (Java
Indonésie) 932 (?)-1526 ("Banten sebelum Islam - Studi arkeologis
tentang Banten Girang 932 (?)-1526"), École
française d'Extrême-Orient, 1994, ISBN 2-85539-773-1
- Guillot,
Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, "La principauté de Banten
Girang" ("Kerajaan Banten Girang"), Archipel,
Tahun 1995, Volume 50, halaman 13-24
- Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since
c. 1200, 2008 (terbitan ke-4)
- (Indonesia)Sia-sia, Kalau Bangkitkan Sosok Sultan Banten. Harian Kompas, 28 Maret 2003
- (Indonesia)Menunggu Kembalinya Sultan Banten.
Republika, 7 September 2003
- (Indonesia)Ribuan Peziarah Serbu Masjid Agung Banten. TempoInteraktif, 26 Oktober 2006
- (Indonesia)Kesultanan Banten? Wallahualam…. Harian
Kompas, 26 April 2003
Referensi : http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Banten